Risalah I'tikaf
A. DEFENISI
I'TIKAAF
I'tikaaf berasal dari kata :
'AKAFA - YA'KIFU - WAYA'KUFU - 'UKUUFAN
I'tikaaf menurut bahasa ialah = "menetapi sesuatu dan menahan
diri padanya, baik sesuatu berupa kebaikan atau kejahatan".
Allah berfirman
:
"Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya
?" (QS 21 : 52)
Sedangkan arti i'tikaaf menurut istilah syara' ialah : seseorang
tinggal/menetap di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dengan
shifat/cara tertentu. (Lihat Syarah Muslim, 8 : 66. Fathul Baari 4 :
271. Muhalla 5 : 179, masalah No. 624).
B.
DISYARI'ATKANNYA
Para Ulama sepakat bahwa i'tikaaf disyari'atkan dalam agama Islam
dan Nabi SAW selalu mengerjakan sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits.
Artinya :
"Dari 'Aisyah ra, istri Nabi SAW, ia berkata :
"Adalah Nabi SAW, biasa i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir di bulan
Ramadhan, sampai beliau wafat kemudian istri-istri beliau melaksanakan i'tikaaf
sepeninggalnya". (Hadist riwayat Bukhari 2 : 255. Fathul Baari 4 : 271
Nomor 2462. Ahmad 6 : 292 dan Baihaqy 4 : 315, 320).
"Dari Ibnu 'Umar, ia berkata : "Adalah
Rasulullah SAW, biasa i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan
Ramadhan". (Hadits Shahih riwayat : Ahmad, Bukhari dan Muslim).
"Dari 'Aisyah, ia berkata : "Adalah Rasulullah
SAW, apabila sudah masuk sepuluh terakhir (dari bulan Ramadhan), maka beliau
menghidupkan malam itu, membangunkan istrinya dan mengikat kainnya". (Hadits Shahih
riwayat : Ahmad, Bukhari 2 : 255. Muslim 3 : 176. Abu Dawud No. 1376. Nasa'i 3
: 218 dan Tirmidzi).
Maksud dari
kalimat :
- Menghidupkan malamnya, artinya beliau sedikit sekali tidur dan banyak melakukan shalat dan dzikir.
- Membangunkan istrinya, yakni menyuruh mereka shalat malam/tarawih serta melakukan ibadah-ibadah lainnya.
- Mengikat kainnya, adalah satu kinayah bahwa beliau sungguh-sungguh beribadah dan tidak bercampur dengan istri-istrinya, karena beliau selalu melakukan iti'kaaf setiap sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, sedangkan orang yang i'tikaaf tidak tidak boleh bercampur dengan istrinya. (Lihat Subulus Salam 2 : 356-357. Fiqhul Islam Syarah Bulughul Maram 3 : 257-258).
"'Aisyah berkata: "Adalah Rasulullah SAW,
bersungguh-sungguh pada sepuluh terakhir (dari bulan Ramadhan) melebihi
kesungguhannya di malam-malamnya". (Hadits Shahih riwayat : Ahmad dan Muslim 3 :
176).
Setiap ibadah yang nashnya sudah jelas dari Al-Qur'an dan
Sunnah yang shahih, maka itu pasti mempunyai keutamaan, meskipun tidak
disebutkan keutamaannya, begitu pula tentang i'tikaaf, walaupun i'tikaaf itu
merupakan taqarrub kepada Allah akan tetapi tidak ditemukan sebuah hadits pun
menyatakan keutamaannya.
Berkata Imam Abu Dawud As-Sijistany : "Saya bertanya kepada
Imam Ahmad : Tahukah engkau suatu keterangan mengenai keutamaan i'tikaaf ?
Jawab beliau : tidak kudapati, kecuali ada sedikit riwayat, dan riwayat inipun
lemah. (Lihat Al-Mughni, 4 : 455-456 dan Silsilah
Ahaadist Dha'ifah dan Maudhu'-ah No. 518).
C. HUKUM
I'TIKAAF
Hukum i'tikaaf ada dua macam, yaitu sunnat dan wajib.
I'tikaaf Sunat.
Ialah yang dilakukan oleh seseorang secara sukarela
dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan pahala dari
pada-Nya, serta mengikuti sunnah Rasulullah SAW. I'tikaaf
seperti ini sangat ditekankan dan lebih utama dilakukan pada sepuluh hari
terakhir dari bulan Ramadhan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW setiap
bulan Ramadhan sampai beliau wafat.
I'tikaaf Wajib.
Ialah i'tikaaf yang diwajibkan oleh seseorang terhadap
dirinya sendiri, adakalanya dengan nadzar mutlak, misalnya ia mengatakan wajib
bagi saya i'tikaaf karena Allah selama sehari semalam. Atau dengan
nadzar bersyarat, misalnya ia mengatakan, jika Allah menyembuhkan penyakit
saya, maka saya akan i'tikaaf dua hari dua malam. Nadzar ini wajib
dilaksanakan.
Rasulullah SAW
bersabda.
Artinya :
"Dari 'Aisyah, ia berkata : "Telah bersabda
Rasulullah SAW : "Barangsiapa yang bernadzar akan melakukan sesuatu
keta'atan kepada Allah hendaklah ia penuhi nadzarnya itu, dan barangsiapa
bernadzar untuk melakukan ma'shiat (kedurhakaan/kesyirikan) kepada Allah, maka
janganlah lakukan ma'siat itu". (Hadits Shahih riwayat : Bukhari, Malik, Abu
Dawud No. 3289, Nasa'i, Tirmidzi, Darimy 2 : 184. Ibnu Majah No. 2126, Ahmad 6
: 36,41,224 dan Baihaqy 19/68 dan Ibnu Jarud No. 934).
'Umar bin Khattab ra, pernah bertanya kepada Rasulullah
SAW : Ya Rasulullah, saya pernah bernadzar di zaman jahiliyah akan beri'tikaaf
satu malam di masjid Haram ? Sabda beliau : "Penuhilah nadzarmu itu !". (Hadist Shahih riwayat : Bukhari 2 : 256, Fathul Baari No. 2032 dan
Muslim 5 : 89).
D. WAKTUNYA
I'tikaaf yang wajib, dilakukan sesuai dengan apa yang
telah dinadzarkan dan di-iqrarkan seseorang, maka jika ia bernadzarkan dan
di-iqrarkan seseorang, maka jika ia bernadzar akan beri'tikaaf satu hari atau
lebih, hendaklah ia penuhi seperti yang dinadzarkannya itu.
Adapun i'tikaaf yang sunnat, tidaklah terbatas waktunya.
Menurut Imam Syafi'i, Abu Hanifah dan kebanyakan Ahli
Fiqih, i'tikaaf yang sunat tidak ada batasnya (lihat Bidayatul Mujtahid 1 :
229). Kata Ibnu Hazm : boleh seseorang i'tikaaf siang saja. Inilah
merupakan pendapat Imam Syafi'i dan Abu Sulaiman (baca Al-Muhalla 5 : 179-180
masalah no. 614).
E.
SYARAT-SYARAT I'TIKAAF
Orang yang i'tikaaf syaratnya ialah :
- Seorang Muslim
- Mumaiyyiz (sudah baligh).
- Suci dari janabat, suci dari haidh dan suci dari nifas.
Bila i'tikaaf dilakukan di luar bulan Ramadhan, maka :
- Menurut Ibnul Qoyyim : Puasa sebagai syarat shahnya i'tikaaf dan ini merupakan pendapat jumhurus salaf. (lihat Zaadul Ma'ad 2 : 88)
- Menurut Imam Syafi'i dan Ibnu Hazm, bahwa puasa bukan syarat syahnya i'tikaaf (baca Al-Muhalla 5 : 181, masalah No. 625). Kata Imam Nawawi : Yang afdhal (utama) i'tikaaf dengan berpuasa dan bila ia i'tikaaf dengan tidak berpuasa juga boleh. (lihat Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab 6 : 484). Seandainya ada orang sakit i'tikaaf di masjid maka i'tikaafnya shah.
F. RUKUN-RUKUN
I'TIKAAF
1.
Niat.
Karena tidak shah satu amalan melainkan dengan niat.
Karena tidak shah satu amalan melainkan dengan niat.
Allah berfirman :
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus" (QS. Al-Bayyinah: 5)
Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya
segala perbuatan tergantung pada niat, dan manusia akan mendapatkan balasan
menurut niat, dan manusia akan mendapatkan balasan menurut apa yang
diniatkannya..." (Hadits Shahih riwayat Bukhari (Fathul Baari 1
: 9) 6 : 48).
2.
Tempatnya harus
di Masjid
Hakikat i'tikaaf, ialah tinggal di-masjid dengan tujuan mendekatkan
diri kepada Allah Ta'ala.
Mengenai diwajibkannya di masjid berdasarkan
firman Allah Ta'ala :
"....tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu
beri'tikaaf di masjid ...." (QS 2 : 187)
Jadi i'tikaaf
itu hanya shah di masjid.
G. PENDAPAT
FUQAHA
Mengenai Masjid yang Shah Dipakai Untuk I'tikaaf
Para fuqaha' berbeda pendapat mengenai masjid yang shah dipakai
untuk i'tikaaf, dalam hal ini ada beberapa pendapat, yaitu :
- Sebagian ulama berpendapat bahwa i'tikaaf itu hanya dilakukan di tiga masjid, yaitu : Masjid Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha. Pendapat ini adalah pendapat Sa'ad bin Al-Musayyab. Kata Imam Nawawi : "Aku kira riwayat yang dinukil bahwa beliau berpendapat demikian tidak shah".
- Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ishaaq dan Abu Tsur berpendapat bahwa i'tikaaf itu shah dilakukan di setiap masjid, yang dilaksanakan pada shalat lima waktu dan didirikan jama'ah.
- Imam Malik, Imam Syafi'i dan Abu Dawud berpendapat bahwa i'tikaaf itu syah dilaksanakan pada setiap masjid, karena tidak ada keterangan yang shah yang menegaskan terbatasnya masjid sebagai tempat untuk melaksanakan i'tikaaf.
Sesudah membawakan beberapa pendapat, kemudian Imam
Nawawi berkata : "I'tikaaf itu shah dilakukan di setiap masjid dan tidak
boleh dikhususkan masjid manapun juga kecuali dengan dalil. Sedang dalam
hal ini tidak ada dalil yang jelas yang mengkhususkannya". (Lihat
Al-Majmu' Syahrul Muhadzdzab 6 : 483).
- Ibnu Hazm : "I'tikaaf itu shah dan boleh dilakukan di setiap masjid, baik di situ dilaksanakan shalat Jum'at atau tidak". (Lihat Al-Muhalla 5 : 193, masalah No. 633).
- Kata Abu Bakar Al-Jashshash : "Telah terjadi itifaq diantara ulama Salaf, bahwa diantara syarat i'tikaaf harus dilakukan di masjid, dengan perbedaan pendapat diantara mereka tentang apakah masjid-masjid tertentu atau di masjid mana saja (pada umumnya) bila dilihat zhahir firman Allah :"Sedangkan kamu dalam beri'tikaaf di masjid". (QS 2 : 187). Ayat ini membolehkan i'tikaaf di semua masjid berdasarkan keumuman lafadznya, karena itu siapa saja yang mengkhususkan makna ayat itu mereka harus menampilkan dalil, demikian juga yang mengkhususkan hanya masjid-masjid Jami' saja tidak ada dalilnya, sebagaimana halnya pendapat yang mengkhususkan hanya masjid-masjid para Nabi (yaitu : Masjid Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsha). Karena (pendapat yang mengkhususkan) tidak ada dalilnya, maka gugurlah pendapat tersebut. (Lihat Ahkaamul Qur'an, Al-Jashshash 1 : 285 dan Rawaai'ul Bayaan Fii Tafsiiri Ayaatil Ahkam 1 : 41-215).
Menurut jumhur ulama, tidaklah akan shah bagi seorang
wanita beri'tikaaf di masjid rumahnya sendiri, karena masjid di dalam rumah
tidak bisa dikatakan masjid, lagi pula keterangan yang sudah shah menerangkan
bahwa isteri-isteri Nabi SAW, melakukan i'tikaaf di Masjid Nabawi. (Lihat
Fiqhus Sunnah 1 : 402).
Tentang wanita i'tikaaf di masjid diharuskan membuat
kemah tersendiri terpisah dari laki-laki, dan untuk masa sekarang harus
dipikirkan tentang fitnah yang akan terjadi bila para wanita hendak i'tikaaf,
ikhtilath dengan laki-laki di tempat yang sudah semakin banyak fitnah. Adapun soal
bolehnya para ulama membolehkan, dan di usahakan untuk tidak saling pandang-memandang
antara laki-laki dan wanita. (Lihat Al-Mughni 4 : 464-465, baca Fiqhul Islam
syarah Bulughul Maram 3 : 260)
H. WAKTU
MEMULAI DAN MENGAKHIRI I'TIKAAF
Di tulisan bagian pertama sudah disebutkan bahwa i'tikaaf sunnat
waktunya tidak terbatas. Maka bila seseorang telah masuk masjid dan berniat
taqarrub kepada Allah dengan tinggal di dalam masjid beribadah beberapa saat,
berarti ia beri'tikaaf sampai ia keluar. Dan jika seseorang berniat hendak
i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, maka hendaklah ia
mulai masuk masjid sebelum matahari terbenam.
Pendapat yang menerangkan bahwa masuk i'tikaaf sebelum matahari
terbenam pada tanggal 20 Ramadhan malam ke 21, adalah pendapat Imam Malik, Imam
Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya. (Lihat Syarah Muslim, 8 : 68, Majmu' Syahrul Muhadzdzab 6 : 492. Fathul
Baari 4 : 277. Al-Mughni 4 : 489-490 dan Bidayatul Mujtahid 1 : 230).
Dalil mereka ialah : Riwayat i'tikaaf-nya Rasulullah SAW di awal
Ramadhan, pertengahan dan akhir Ramadhan, kemudian bersabda :
"Barangsiapa yang hendak beri'tikaaf bersamaku, hendaklah ia
melakukannya pada sepuluh malam terakhir (dari bulan Ramadhan) ..." (Hadits Shahih riwayat Bukhari 2 : 256 dan Muslim 2 : 171-172)
"Sepuluh terakhir", maksudnya ialah nama bilangan malam,
dan bermula pada malam ke dua puluh satu atau malam ke dua puluh. (Lihat Fiqhus
Sunnah 1 : 403). Tentang Hadits 'Aisyah :
"Kata 'Aisyah : "Adalah Nabi SAW, bila hendak i'tikaaf,
beliau shalat shubuh dulu, kemudian masuk ke tempat i'tikaaf ". (Hadist Shahih riwayat Bukhari 2 : 257 dan Muslim 3 : 175).
Hadits ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa
permulaan waktu i'tikaaf adalah di permulaan siang. Ini menurut pendapat
Al-Auza'i, Al-Laits dan Ats-Tsauri. (lihat Nailul Authar 4 : 296).
Hadits 'Aisyah di atas maksudnya ialah bahwa Nabi SAW,
masuk ke tempat yang sudah disediakan untuk i'tikaaf di masjid setelah beliau
selesai mengerjakan shalat Shubuh. Jadi bukan masuk masjidnya ba'da Shubuh.
Adapun masuk ke masjid untuk i'tikaaf tetap di awal malam
sebelum terbenam matahari. (Lihat Fiqhus Sunnah 1 : 403).
Mengenai waktu keluar dari masjid setelah selesai
menjalankan i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, menurut
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i waktunya adalah sesudah matahari terbenam (di
akhir Ramadhan). Sedangkan menurut Imam Ahmad disunnahkan ia tinggal di masjid
sampai waktu shalat 'Idul Fitri. Jadi keluar dari masjid ketika ia keluar ke
lapangan mengerjakan shalat 'Id. Akan tetapi menurut mereka boleh pula keluar
dari masjid setelah matahari terbenam. (Lihat Bidayaatul Mujtahid 1 : 230 dan
Al-Mughni 4 : 490).
Jadi kesimpulan empat Imam sepakat bahwa i'tikaaf berakhir dengan
terbenamnya matahari di akhir Ramadhan.
Kata Ibrahim : "Mereka menganggap sunnat bermalam di
masjid pada malam 'Idul Fitri bagi orang yang beri'tikaaf pada sepuluh malam
terakhir dari bulan Ramadhan, kemudian pagi harinya langsung pergi ke lapangan
(untuk shalat I'dul Fitri)". (Baca Al-Mugni 4 : 490-491).
Dan orang yang bernadzar akan beri'tikaaf satu hari atau
beberapa hari tertentu, atau bermaksud melaksanakan i'tikaaf sunnat, maka
hendaknya ia memulai i'tikaafnya itu sebelum terbit fajar, dan keluar dari
masjid bila matahari sudah terbenam, baik i'tikaaf itu di bulan Ramadhan maupun
di bulan lainnya. (Lihat Bidayaatul Mujtahid 1 : 230. Al-Majmu' Syahrul
Muhadzdzab 6 : 494. Fiqhus Sunah 1 : 403-404).
Kata Ibnu Hazm : Orang yang bernadzar hendak i'tikaaf
pada satu malam atau beberapa malam tertentu, atau ia hendak melaksanakan
i'tikaaf sunnat, maka hendaklah ia masuk ke masjid sebelum terbenam matahari,
dan keluar dari masjid bila sudah terbitnya fajar. Sebabnya karena
permulaan malam ia saat yang mengiringi terbenamnya matahari, dan ia berakhir
dengan terbitnya fajar. Sedangkan permulaan siang adalah waktu terbitnya fajar
dan berakhir dengan terbenamnya matahari. Dan seseorang tidak dibebani
kewajiban melainkan menurut apa yang telah diikrarkan dan diniatkannya. (Lihat Al-Muhalla 5 : 198 masalah No. 636).
I. HAL-HAL YANG
SUNNAT DAN MAKRUH BAGI ORANG YANG I'TIKAAF
Disunnatkan bagi orang yang beri'tikaaf memperbanyak
ibadat sunnat serta menyibukkan diri dengan shalat berjama'ah lima waktu dan
shalat-shalat sunnat, membaca Al-Qur'an, tasbih, tahmid, takbir, istigfhar,
berdo'a, membaca shalawat atas Nabi SAW dan ibadat-ibadat lain yang mendekatkan
diri kita kepada Allah Ta'ala.
Termasuk juga hal ini disunnatkan menuntut ilmu,
membaca/menelaah kitab-kitab tafsir dan hadits, membaca riwayat para Nabi dan
orang-orang shaleh, dan mempelajari kitab-kitab fiqh serta kitab-kitab yang
berisi tentang masalah 'aqidah.
Dimakruhkan bagi orang yang i'tikaaf melakukan hal-hal
yang tidak perlu dan tidak bermanfa'at, baik berupa perkataan atau perbuatan,
sabda beliau :
"Diantara kebaikan Islam seseorang, ialah ia meninggalkan
hal-hal yang tidak berguna". (Hadits riwayat
Tirmidzi No. 2419. Ibnu Majah No. 3976 dan di-shahkan oleh Syaikh Al-Albani di
Shahih Jami'us Shagir No. 5787).
Dimakruhkan pula menahan diri dari berbicara, yakni :
seseorang tidak mau bicara, karena mengira bahwa hal itu mendekatkan diri
kepada Allah 'Azza wa Jalla.
Ibnu Abbas berkata : Ketika Nabi SAW sedang khutbah,
tampak oleh beliau seorang laki-laki yang tetap berdiri (di terik matahari).
Maka beliau bertanya (kepada para shahabat) siapakah orang itu ? Jawab mereka :
"Namanya Abu Israil, ia bernadzar akan terus berdiri, tidak akan duduk,
tidak mau bernaung dan tidak mau berbicara serta akan terus berpuasa. Maka Nabi SAW
bersabda:
"Suruhlah ia berbicara, bernaung dan duduk, dan hendaklah ia
meneruskan puasanya". (Hadits Shahih riwayat Bukhari, Abu Dawud
No.3300, Ath-Thahawy Fii-Masykilil Aatsaar. 3 : 44 dan Baihaqy 10 : 75).
J. HAL-HAL YANG
MEMBATALKAN I'TIKAAF
- Sengaja keluar dari masjid tanpa suatu keperluan walau hanya sebentar. Keluar dari masjid akan menjadikan bathal i'tikaafnya, karena tinggal di masjid sebagai rukun i'tikaaf.
- Murtad karena bertentangan dengan ma'na ibadah, dan juga berdasarkan firman Allah : "Seandainya engkau berbuat syirik, maka akan gugurlah amalanmu". (QS 39 : 35).
- Hilang akal disebabkan gila atau mabuk
- Haidh
- Nifas
- Bersetubuh/bersenggama, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Dan janganlah kamu campuri mereka ketika kamu sedang i'tikaaf di masjid, itulah batas-batas Allah..." (QS 2 : 187) (Lihat Fiqhus Sunnah 1 : 406).
K. HAL-HAL YANG
DIBOLEHKAN SEWAKTU I'TIKAAF
- Menyisir rambut, berpangkas, memotong kuku, membersihkan tubuh, memakai pakaian terbaik dan memakai wangi-wangian.
- Keluar untuk sesuatu keperluan yang tidak dapat dielakan.
"Dari 'Aisyah, bahwa ia pernah menyisir
rambut Nabi SAW, padahal ia sedang haidh, dan Nabi SAW sedang i'tikaaf di
masjid, dan 'Aisyah berada di dalam kamarnya dan kepala Nabi SAW dimasukkan ke
kamar 'Aisyah. Dan adalah Nabi SAW, bila sedang i'tikaaf tidak pernah masuk rumah
melainkan kalau untuk menunaikan hajat". (Hadits Shahih riwayat Bukhari 2 : 260, 256. Muslim 1: 167, Abu
Dawud No. 2467. Tirmidzi. Ibnu Majah No. 1776 dan 1778. Malik. Ibnul Jarud dan
Ahmad 6 : 104,181,235,247,262).
Berkata Ibnul Munzir : Para Ulama sepakat, bahwa orang
yang i'tikaaf boleh keluar dari masjid (tempat i'tikaaf-nya) untuk keperluan
buang air besar atau kencing, karena hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat
dielakkan, sebab tidak mungkin dilakukan di masjid. Dalam hal ini
sama hukumnya dengan kebutuhan makan minum bila tidak ada yang mengantarnya,
maka boleh ia keluar (sekedarnya)."
(Lihat Fiqhus
Sunnah 1 : 405).
'Aisyah juga meriwayatkan bahwa ia tidak menjenguk orang
sakit ketika ia sedang i'tikaaf melainkan hanya sambil lewat saja, misalnya ada
orang sakit di dalam rumah, ia bertanya kepada si sakit sambil lewat saja.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim.
L. KHATIMAH
Sebagai khatimah dari tulisan ini, dianjurkan bagi
orang-orang yang i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan dan yang tidak
i'tikaaf, berusahalah memanfa'atkan kepada Allah, perbanyaklah baca Al-Qur'an,
berdzikir kepada Allah, dan melakukan shalat-shalat sunnat yang diajarkan
Rasulullah SAW, mudah-mudahan kita termasuk orang yang mendapatkan malam
Lailatul Qadar yang keutamaannya lebih baik dari seribu bulan dan mudah-mudahan
pula dosa kita diampunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sabda Rasulullah SAW :
"Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW, bersabda :
"Barangsiapa yang berdiri (shalat tahajjud/tarawih), karena iman dan
mengharapkan ganjaran dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosa-nya yang telah
lalu".
(Hadits Shahih riwayat Bukhari 2 : 252. Muslim 2 : 177. Abu Dawud
No. 1371. Nasa'i 4 : 155-158. Darimy, Ibnu Majah No. 1326. Ahmad 2 :
281,289,408,423).
Dan perbanyak
pula baca dzikir di bawah ini pada malam ganjil di akhir Ramadhan yang
diharapkan adanya Lailatul Qadar.
"ALLAHUMMA INNAKA 'AFUUWUN TUHIBBUL 'AFWA FA' FU 'ANNII"
"Ya Allah ! Sesungguhnya Engkau Maha pemaaf dan suka
mema'afkan, maka ma'afkanlah aku". (Hadits Shahih
riwayat Ahmad 6 : 171. Ibnu Majah No. 3850. Tirmidzi No. 3580 (Shahih Tirmidzi
No. 2789 dan Shahih Ibnu Majah No. 3105)).
Wallahu 'Alamu Bish Shawaab


No comments: